Lomba blog oleh kambing jantan

Rabu, 17 Desember 2008

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

> Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
> terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
> dan punggung mereka menghadap ke langit.
> Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
>
> Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
> mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,
> Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
> Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
> adikku dan aku berlutut di depan tembok,
> dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
> "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
> terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
> Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
> Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian
> berdua layak dipukul!"
> Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
> Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
> berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
>
> Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
> bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia
> terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
> Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
> bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
> sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
> mendatang? ...
> Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
>
> Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
> kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
> setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
> meraung-raung.
> Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
> berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
>
> Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
> cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
> insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah
> akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku
> berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
>
> Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
> lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya
> diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah
> berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
> bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan
> hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air
> matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana
> mungkin
> kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
>
> Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
> dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
> cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
> adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
> keparat lemahnya?
> Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
> saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu
> kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
> uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
> yang
> membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan
> sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
> kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
> meneruskan ke universitas.
>
> Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
> adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan
> sedikit
> kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
> meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
>
> tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
>
> Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
> dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun
> itu,
> adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
>
> Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
> uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
> lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
>
> Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
> masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu
> di luar sana!"
>
> Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
> berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
> tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak
> bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,
> tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir
> jika
> mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
>
> Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
> menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
> kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku
> apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
>
> Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
> berbentuk kupu-kupu.
> Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
> "Saya melihat semua gadis kota memakainya.
> Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
> Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
> menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
> Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
>
> Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
> jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
> Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
> "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
>
> rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang
> pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka
> pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
>
> Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
> mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
> Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
> "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
> "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
> lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap
> waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
> Ditengah kalimat itu ia berhenti.
> Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
> mengalir deras turun ke wajahku.
> Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
>
> Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
> suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
> bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
> Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
> mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku
> tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
> menjaga ibu dan ayah di sini."
>
> Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
> adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen
> pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
> Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
>
> Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
> memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,
> dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
> aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
> kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
> Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti
>
> ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak
> mau mendengar kami sebelumnya?"
>
> Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
> keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
> saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,
> berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
>
> Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
> kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga
> karena aku!"
>
> "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
> tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
>
> Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
> gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
> perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati
> dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
>
> Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
> kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia
>
> berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
> selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
> Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
> Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
> hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
> Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
> begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
> saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
> baik kepadanya."
>
> Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
> memalingkan perhatiannya kepadaku.
>
> Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
> "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
> Dan
> dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
> perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
>
>
> Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times

1 komentar:

  1. mi sapo ngedit script welcome tuh :D

    bagus...

    sekalian la tambahin chatbox.. biar dak susah daftar absennyo :)

    BalasHapus